Saatnya Pilkada Walikota dan Pentingnya DPRD Kota Pasca Jakarta Tidak Lagi Sebagai Ibukota NKRI
Dengan demikian, maka atas nama demokrasi, “Vox populi, vox dei,” atau suara rakyat adalah suara tuhan, maka harus ada pemilhan walikota dan bupati langsung atau pilkada pada tiap tingkatan kota dan kabupaten kepulauan seribu di DKI Jakarta. Sebab sudah tidak relevan lagi walikota dan bupati ditunjuk oleh Gubenur.
Ditulis oleh : Sugiyanto (SGY).
Penggagas KMPP-LUBERJURDIL
Jakarta sebagai Ibukota Negara akan pindah ke Kalimantan Timur. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara atau IKN, letak ibu kota baru Indonesia, yaitu di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Dalam Pasal 41 UU IKN tersebut disebutkan bahwa paling lama 2 (dua) tahun sejak UU IKN diundangan, UU No 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah sesuai dengan ketentuan dalam UU IKN. Dan perubahan UU IKN ini berlaku saat Keputusan Presiden mengenai pemindahan IKN ditetapkan.
Saat ini pemerintah lewat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian telah menyampaikan usulan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk masuk dalam Proglam Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024.
Salah satu yang diusulkan itu adalah RUU Perubahan Atas UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah tidak lagi menjadi Daerah Khusus Ibukota, maka ada kemungkinan Jakarta akan diusulkan menjadi pusat perekonomian, pusat perdagangan, kota bisnis, kota keuangan atau kota jasa perdagangan. Semua hal ini tentunya akan menjadi bahan masukan dalam pembahasan RUU penganti UU khusus DKI Jakarta.
Namun yang tak kalah penting untuk dibahas adalah tentang, “Bentuk Fungsi Daerah Otonom Jakarta”. Selama ini fungsi daerah otonom berada pada tingkat Provinsi DKI Jakarta. Artinya ditingkat provinsi ada pemilu untuk pemilihan kepala daerah atau pemilu pilkada dan pemilu legislatif atau pileg. Sedangkan pada tiap tingkat kota dan kabupaten tak ada Pilkada dan Pileg. Pada tiap tingkat kota dan kabupaten ini dipimpin oleh Aparatur Sipil Negara atau ASN yang ditunjuk oleh Gubernur.
Bentuk fungsi daerah otonom yang hanya ada pada tingkat provinsi inilah yang perlu diubah! Perlu diupayakan agar daerah otonom di DKI Jakarta tak hanya ada pada tingkat provinsi tetapi juga harus ada pada tiap tingkatan kota dan kabupaten.
Ketentuan aturan tentang wilayah administrasi kota dan kepulauan seribu harus juga dicabut, diganti menjadi daerah otonom yang defenitif. Sehingga nantinya, pada tiap tingkatan kota dan kabupaten di Provinsi DKI Jakarta juga akan ada Pilkada dan Pileg secara langsung.
Dengan demikian, maka atas nama demokrasi, “Vox populi, vox dei,” atau suara rakyat adalah suara tuhan, maka harus ada pemilhan walikota dan bupati langsung atau pilkada pada tiap tingkatan kota dan kabupaten kepulauan seribu di DKI Jakarta. Sebab sudah tidak relevan lagi walikota dan bupati ditunjuk oleh Gubenur.
Dalam UUD-RI Tahun 1945 disebutkan tentang daerah otonom. Pada Pasal 18 ayat (2) ditegaskan sebagai berikut, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selain itu juga menyebutkan tentang kepala daerah, yakni Pada Pasal 18 ayat (4) ditegaskan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Bila merujuk pada ketentun kostitusial tersebut diatas, maka seharusnya pada tiap kota/kabupaten di DKI Jakarta adalah daerah otonom. Selain itu, walikota dan bupati di DKI Jakarta juga harus dipilih secara demokratis, bukan ditunjuk oleh Gubernur.
Selain tentang kepala daerah, pemilihan anggota legislatif atau pileg pada tiap tingkatan kota dan kabupten juga penting. Sebab Pileg akan melahirkan wakil rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota/kabupaten. Dengan demikian, warga masyarakat juga akan lebih mengenal wakil rakyat yang dipilihnya.
Demokrasi memang sesuatu yang berat dan mahal. Banyak pro dan kontra, termasuk ketegangan dan pertentangan. Akan ada banyak pihak yang menentang gagasan Pilkada dan Pileg langsung pada tiap tingkatan kota dan kabupaten di DKI Jakarta. Namun dari sinilah pentingnya gagasan ini untuk terus diperjuangkan.
Harus diakui bahwa Pilkada dan Pileg langsung akan banyak mamfaatnya. Diantaranya dapat menunjukan tentang kedaulan ada ditangan warga masyarakat pada tiap tingkatan kota dan kabupaten. Selain itu, walikota dan bupati yang dipilih langsung akan mempertanggungjawabkan visi dan misi serta program kerjanya kepada dewan dan warga masyarakatnya.
Adapun mamfaat keberadan DPRD Kota dan atau kabupaten adalah akan lebih mudah mengontrol pembangunan. Sehingga kemajuan kota dan kabupen serta kesejahtraan warga masyarakat akan dapat cepat terwujud.
Mamfaat lain dari keberadaan DPRD pada tiap tingkatan kota dan kabupaten di DKI Jakarta adalah akan memberikan banyak kesempatan bagi kader partai politik untuk menjadi anggota legislatif. Sehingga persaingan karir politik bagi kader partai untuk menjadi anggota legislatif akan berkurang.
Artinya akan ada pembagian zona wilayah. Bagi kader politik pada tingkatan Provinsi DKI Jakarta akan memilih menjadi anggota DPRD Provinsi. Dan kader partai pada tiap tingkatan kota dan kabupaten akan memutuskan untuk menjadi anggota DPRD Kota/Kabupaten.
Dengan adanya Pilkada dan Pileg langsung pada tiap tingkatan kota dan kabupaten di DKI Jakarta, maka diyakini bisa mempercepat kemajuan daerah. Dana Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI yang besar akan bisa lebih bermamfaat bila terbagi secara proporsional untuk provinsi DKI Jakarta dan kota-kota serta kabupaten di DKI Jakarta.
Bila dilihat dari besaran jumlah nilai APBD DKI Jakarta, maka keberadaan dearah otonom pada tiap tingkatan kota/kabupaten sangat layak untuk diwujudkan. Dengan nilai dana APBD DKI Jakarta yang berkisar Rp. 85 triliun pertahun, maka masih bisa untuk mendukung pelaksanaan pembangunan daerah. baik pada daerah otonom provinsi dan daerah otonom pada tiap tingkatan kota/kabupaten di DKI Jakarta.
Artinya, bila dana APBD Rp. 85 triliun tersebut dibagi 25 persen untuk daerah otonom provinsi DKI Jakarta, maka akan didapat APBD untuk Provinsi DKI Jakarta senilai Rp. 21,25 triliun. Kemudian bila dana APBD 85 triliun itu dibagi 75 persen didapat nilai Rp. 63,75 triliun. Lalu nilai Rp. 63,75 triliun ini dibagi untuk enam daerah otonom kota dan kepulauan seribu, maka akan didapat APBD daerah untuk masing-masing kota/kabupaten senilai Rp. 10,625 triliun.
Nilai APBD Rp. 10. 625 triliun untuk daerah otonom pada tiap tingkatan kota dan kepulauan seribu di DKI Jakarta ini masih lebih besar dibandinghkan dengan nilai APBD daerah kota Surabaya yang pertahunnya berkisar Rp. 10,03 triliun. Dan nilai APBD Rp. 10,625 triliun ini juga masih lebih besar dibandingkan dengan APBD daerah kota bandung yang pertahunnya berkisar Rp. 7,2 triliun dan daerah kabupaten bogor berkisar Rp. 7,76 triliun serta kabupaten kota bekasi yang pertahunnya hanya berkisar Rp. 6,39 triliun.
Selain itu, bila ditinjau dari luas wilayah dan jumlah penduduk kota yang diatas satu juta orang, maka keberadaan daerah otonom pada tiap tingkatan kota/kabupaten juga sangat memungkinakan. Kecuali wilayah kepulauan seribu yang bisa digabung dengan kota Jakarta Utara. Kosep Megapolitan dan atau Jabodetabek-Punjur juga relevan dijadikan rujukan pembetukan otonomi daerah kota/baupaten di DKI Jakarta.
Untuk bisa memperjuangkan daerah otonom pada tiap tingkatan kota/kabupaten di DKI Jakarta, maka perlu juga mendesak pemerintah merevisi UU No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (IKN) pada Pasal 41 ayat (1) sebagai berikut, “Sejak ditetapkannya Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ketentuan Pasal 3, Pasal 4 kecuali fungsi sebagai daerah otonom, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO7 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Jadi klausul kecuali fungsi sebagai daerah otonom ini juga harus diusulkan untuk dicabut.
Sejatinya masih banyak lagi keuntungan lain dari Pilkda dan Pileg langsung. Dengan demikian maka usulan atau aspirasi warga masyarakat tentang Pilkada dan Pileg langsung pada tiap tingkatan kota/kabupaten di DKI Jakarta harus terus diperjuangkan.
Dengan adanya diskusi publik ini, maka kami berharap agar masyarakat dapat menyampaikan apirasi dan memperjuangkannya. Khusunya yang terkait dengan usulan fungsi daerah otonom pada tiap tingkat Kota dan Kabupaten di DKI Jakarta.
Untuk membedah persoalan gagasan daerah otonom pada tiap tingkatan kota/kabupaten di DKI Jakarta, telah dibahas dalam Diskusi Publik, Kamis (22/06-2023) dengan para narasumber, Anggota Komisi III DPR-RI, Fraksi Partai Demokrat, Santoso, SH. MH, Anggota DPD Provinsi DKI Jakarta, Prof. Dr. H. Dailami Firdaus SH., LL.M, Dosen HTN IBLAM, Punta Yoga Astoni, S.H., M.H. dan Penggagas KMPP-LUBERJURDIL, Sugiyanto (SGY).
Sebagai penutup, akhirnya kami dari Komunitas Masyarakat Peduli Pemilu Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil ( KMPP-LUBERJURDIL) berharap semoga Pilkada dan Pileg Langsung pada tiap tingkatan kota dan kabupaten bisa terlaksana di DKI Jakarta.
The End.